FacebookInstagramYoutube

Dilema Visi dan Spirit Pembangunan Syariat

Oleh Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M

“Jika konsep islamikasi ini diterima, maka indeks pembangunan syariat tidak lagi berkiblat kepada sistem ajaran yang transedental dan simbol-simbol keagamaan yang eksklusif. Lebih jauh dari itu, ukuran keislaman lebih kepada hal-hal yang bersifat profan, konkret dan produktif”

Di era 70-an, gubernur Ali Sadikin pernah melegalkan perjudian. Tidak hanya itu, bang Ali tidak segan-segan mengeluarkan pernyataan keras untuk mempertahankan ide “liar”nya tersebut. “Jalanan di Jakarta ini dibangun dari hasil judi. Kalau ada pihak-pihak yang tak setuju dengan judi, (kalau) keluar rumah pakai helikopter saja”. Bang Ali melontarkan pernyataan keras itu sebagai respons atas berbagai kritik terhadap kebijakannya melegalkan praktik perjudian.

Di antara para tokoh yang kerap mengkritik kebijakan “liar” Ali Sadikin adalah Muhammad Natsir. Tokoh Islam yang pernah menjadi Perdana Menteri itu gencar menyerang kebijakan Ali Sadikin melalui mimbar dan media masa. Bahkan di salah satu kesempatan, Natsir menyematkan gelar “gubernur maksiat” kepada Ali Sadikin.

Benturan Visi dan Spirit

Bagi penulis, cuplikan di atas tidak sekedar perdebatan antara dua anak manusia, lebih dari itu cerita tersebut merupakan potret pertarungan dua ide dan cita-cita menuju kepada kebenaran (the will to the truth). Menurut AM Fatwa yang pernah menjadi staf ahli gubernur Ali Sadikin, legalisasi judi sengaja dibuat karena sadar sangat sulit memberantas perjudian. Bandar judi yang bertebaran di Jakarta dibekinggin oleh banyak jenderal. Bang Ali melegalkan judi agar uang pajak atau retribusi judi tak hanya  memperkaya beberapa jenderal saja. Lebih jauh AM Fatwa menyebutkan, “Ide-nya Bang Ali adalah supaya uang judi ini bisa dinikmati masyarakat maka harus dikenai pajak oleh pemerintah dan dipakai untuk pembangunan”.

Jika perspektif AM, Fatwa dalam membaca arah kebijakan Ali Sadikin ini dapat diterima, setidaknya kita dapat mengatakan bahwa Bang Ali merupakan seorang gubernur visioner yang memiliki segudang ide untuk ribuan masalah. Namun di lain pihak, kritik-kritik tajam yang dilancarkan oleh Muhammad Natsir masih relevan dengan spirit ajaran agama. Pertentangan dua ide dan cita-cita ini lah yang biasanya berkelindan dalam masyarakat masyarakat Muslim modern. Di satu pihak mereka wajib mengejar ketertinggalan di segala lini kehidupan, namun dipihak lain pembangun diharapkan tidak mengekang kemurnian ajaran agama.

Penulis sendiri merasakan hal sama terjadi di Aceh (Iskandar, 2018) Dalam beberapa kali kesempatan penulis diundang oleh beberapa instansi pemerintah, ormas dan LSM untuk membicarakan indeks pembangunan syariat. Dalam berbagai kesempatan itu pula, diskusi yang terjadi masih berkutat seputaran Islam sebagai agama dan peradaban (al-din wa al-hadharah).

Sebagai contoh kecil, kaum prinsipil dengan setia menolak pembangunan Aceh yang mengarah kepada terbukannya “peluang” pelanggaran syariat. Dalam hal ini izin pendirian bioskop dan penutupan akses menuju kawasan wisata Ulee Lheu di malam hari dapat diajukan sebagai contoh. Di pihak berlawanan, kaum visioner dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah dan terhindarnya uang daerah mengalir ke provinsi tetangga, mengharapkan agar bioskop dan pantai Ulee Lheu dapat diakses dengan mudah.

Pertentangan dua kelompok tersebut terlihat tidak dapat dikompromikan. Jika kita menyerahkan model pembangunan syariat ke tangan kaum visioner, boleh jadi suatu saat Aceh akan menjadi “daerah maju tak bertuhan”. Namun jika diserahkan kepada kaum prinsipil, Aceh akan terus terkungkung dalam garis kemiskinan. Sehingga pertanyaan mau di bawa ke mana syariat Islam di Aceh?, masih tetap relevan untuk dipertanyakan.

Islamikasi bukan Islamisasi, Modernisasi bukan Westernisasi

Dari pergulatan di atas, sebenarya yang dibutuhkan oleh Aceh sekarang ini adalah islamikasi bukan islamisasi dan modernisasi bukan westernisasi. Islamikasi (islamicate) sendiri merupakan ide yang dicetuskan sejahrawan Amerika, Marshall Hudgson dalam bukunya The Venture of Islam. Islamikasi adalah upaya menghidupkan tata nilai, norma dan kultur kehidupan ideal yang bisa dilihat kebermanfataannya oleh semua orang, apa pun suku, bahasa, agama, bahkan mazhab yang dianut oleh orang tersebut (Iskandar, 2017).

Jika konsep islamikasi ini diterima, maka indeks pembangunan syariat tidak lagi berkiblat kepada sistem ajaran yang transedental dan simbol-simbol keagamaan yang eksklusif. Lebih jauh dari itu, ukuran keislaman lebih kepada hal-hal yang bersifat profan, konkret dan produktif. Pemerintah harus membanjiri visi pembangunnannya dengan konsep adil, jujur, transparan, mendahulukan kepentingan umum, dan menjauhkan masyarakat dari rasa takut dan lapar. Konsep islamikasi inilah yang digunakan Maarif Institute untuk mencampakkan Banda Aceh sebagai kota ke-19 terislami di seluruh Indonesia, jauh di bawah kota yang tidak menerapkan syariat Islam seperti Denpasar, Bandung dan Yogyakarta yang masing-masing menduduki peringkat satu, dua dan tiga.

Selain islamikasi, Aceh juga membutuhkan modernisasi di segala bidang kehidupan bukan malah mengadopsi secara serampangan nilai-nilai kehidupan Barat ke dalam budaya Timur (westernization). Pendidikan, kesehatan, layanan publik, sarana transportasi umum, sampai implementasi syariat Islam harus berkiblat kepada modernitas. Secara etimologis, modern sendiri bermakna suatu yang maju, berorientasi ke depan (forward). Lawan kata dari modern adalah tradisional yang bermakna mundur atau berorientasi ke masa lalu (backward). Syariat Islam di Aceh harus mampu berorientasi ke masa depan, dengan mengadopsi nilai-nilai modern itu sendiri, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, kesetaraan di muka hukum (equality before law), sampai pemanfaatan semaksimal mungkin ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.

Akhirnya, penulis kembali teringat kepada salah satu kutipan Muhammad Abduh yang pernah dibaca ketika penulis kuliah di Mesir. Dalam suatu artikelnya Abduh menulis, “Aku melangkahkan kakiku ke benua Eropa, dan aku menemukan ajaran Islam di sana, walaupun orang Muslim sedikit. Dan ketika aku kembali ke kampung halamanku, ku dapati kaum muslimin tanpa ajaran Islam.

Bibliography
Iskandar,126. (2017). HAM Dalam Prespektif Islam. Media Syari’ah, 19(1), 111–126.

Retrieved from http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/medsyar/article/view/2017

Iskandar, M. (2018). Dayah Darussalam Network and Dayah Awakening in Aceh. Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal), I(3), 13–22.

Artikel ini telah dipublish pada: http://aceh.tribunnews.com/2017/10/13/dilema-visi-danspirit-pembangunan-syariat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
TERBARU

INFO TIMTENG

BERITA POPULAR