FacebookInstagramYoutube

Fiqh Literasi; Solusi mewujudkan Aceh Caroeng

Oleh: Dr. Sarina Aini, Lc. MA.

ppKrisis literasi menjadi PR terbesar bangsa kita saat ini. Bagaimana bisa Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar dunia menempati peringkat 69 dari 76 negara dalam hal minat baca masyarakat dan literasi. Dalam skala kecil, Aceh merupakan provinsi yang tingkat pendidikannya menempati urutan ke 32 dari 34 provinsi. Lagi-lagi Aceh merupakan daerah yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Ada apa dengan muslim?

Bila kita melihat kembali pada masa awal perkembangan Islam, umat Islam begitu kaya dengan literatur. Muslim saat itu membaca, menulis, menelaah, menerjemah, melakukan penalaran dan penelitian sehingga melahirkan karya-karya monumental yang dikenal hingga saat ini. Di bidang hukum Islam misalnya, kita mengenal sejumlah literatur yang dikarang oleh para imam-imam dari berbagai mazhab beserta muridnya.

Fakta tersebut sangat berbanding terbalik dengan kondisi muslim masa kini yang hidup di era teknologi informasi, di mana literatur menjadi barang yang usang dimakan rayap. Buku menjadai pajangan dan hiasan di rumah-rumah. Teknologi yang sebenarnya memberi kemudahan dalam mengakses literatur, tidak dimanfaatkan. Penggunaan teknologi umumnya hanya sebatas wara-wiri di dunia maya, update status atau hanya sekedar nonton video, tak pandang bulu anak-anak atau yang tua.

Padahal dalam dunia hukum Islam, ada sejumlah permasalahan kontemporer dari berbagai bidang, yang kita masih belum mampu menjawabnya. Yang kita lakukan adalah menerapkan hukum masa lalu kepada masa kini yang cenderung tidak lagi relevan dan terkesan rigid. Lagi-lagi permasalahan ini terjadi karna hilangnya budaya membaca dan menulis dalam jiwa muslim.

Membaca Perintah Tuhan

Dalam al-Qur’an ada sejumlah ayat yang menegaskan tentang membaca dan menulis di antaranya adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Surat al-‘Alaq merupakan wahyu pertama yang diterima Rasulullah Muhammad Saw. Kata pertama dalam surat tersebut adalah perintah membaca, begitu pentingnya perintah tersebut hingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu yang turun pada saat itu. Bahkan malaikat Jibril mengulang kata “Iqra’” hingga tiga kali kepada Rasulullah sebagai penegasan.

Padahal jelas kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat jauh dari budaya membaca dan menulis. Tentunya Perintah membaca pada ayat tersebut itu bukan hanya ditujukan kepada Rasul, akan tetapi kepada ummat sepanjang sejarah kemanusiaan. Surat Al-‘Alaq memiliki tafsiran bahwa umat Islam diwajibkan membaca agar tidak buta huruf. Membaca itu banyak macamnya, kita bisa membaca apa saja. Bukan saja membaca  yang tersurat, akan tetapi juga membaca yang tersirat dengan menela’ah, mengkaji dan berpikir.

Setelah proses membaca dan penalaran atau berpikir, lantas Allah SWT memerintahkan untuk menulis. Hal tersebut diungkapkan dalam surat Al-‘Alaq ayat ketiga yang berbunyi ” yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam(pena)“. Dalam surat yang lain (surat Al-Qalam) Allah juga bersumpah dengan pena ” demi pena dan apa yang mereka tulis”. Hal ini juga mengisyaratkan pentingnya kegiatan menulis di samping membaca.

Malas Membaca Adalah Dosa

Kata pertama dalam surat al-‘Alaq adalah iqra’, merupakan fi’il amar yang berarti kalimat perintah.  Dalam kaidah ushul fiqh kata perintah menunjukkan kepada  wajib. Jadi melalui perintah Qur’an tentang membaca dan menulis, jika sekiranya orang Islam malas membaca tentu saja berdosa.

Perasaan berdosa tersebut harusnya sama seperti kita meninggalkan perintah wajib lainnya, karna membaca merupakan instruksi Allah yang pertama sekali sebelum instruksi-instruksi yang lainnya sebagai bukti pentingnya membaca tersebut.

Sebagai contoh, seseorang yang shalat yang tidak memahami bacaan shalatnya bisa saja shalatnya sah tapi kurang kualitasnya. Dalam konteks ini pula umat Islam dianjurkan untuk mencari ilmu pengetahuan sepanjang hayat, karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat “fa man arada ad-dunya fa ‘alayi bi ‘ilmi, wa man arada al-akhirah fa ;alayhi bi ‘ilmi, fa man aradahuma fa ‘alayhi bi ‘ilmi.”

Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan perdaban dunia Islam membaca dan menulis adalah salah satu cara untuk merealisasikannya. Dalam Al-Qur’an Allah mencontohkan dengan memerintahkan malaikat-malaikatnya untuk mencatat dan membukukan seluruh amal perbuatan manusia, maka dari itu kita sebagai manusiapun harusnya memiliki catatan apa yang ada dalam pikirannya.

Disebutkan juga dalam kasyf al-Zhunun, bahwa sesungguhnya Allah telah menganugerahkan kemampuan membaca dan menulis sebagai kemuliaan manusia atas makluk lainnya. Menurut Abdullah Abbas, tulisan adalah lidah tangan, dan dengan tulisan manusia dibedakan dengan binatang. Dalam hal ini tulisan lebih unggul dari ucapan. Suara hanya bisa didengar oleh audien sementara informasi dalam bentuk tulisan memungkinkan untuk diakses oleh orang banyak.

Jelas sekali bahwa motivasi dan inspirasi Al-Qur’an terhadap tradisi baca-tulis, seharusnya memberi pengaruh besar terhadap kesadaran umat Islam dalam membaca dan menulis. Harus disadari bahwa membaca dan menulis merupakan benih bagi lahirnya  intelektualis muslim yang akan mendongkrak perkembangan peradaban dunia yang lebih besar. Tak seharusnya kita sebagai muslim tertinggal hanya karena budaya malas membaca, padahal jelas dan secara tegas hal yang pertama kali di deklarasikan dalam Qur’an adalah membaca. Oleh sebab itu mari budayakan membaca dalam mewujudkan Aceh Caroeng.

*Penulis adalah Dewan Pakar Fiqih IKAT Aceh

Tulisan ini telah dimuat di Opini Tabloid Andalan 31 November 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
TERBARU

INFO TIMTENG

BERITA POPULAR