FacebookInstagramYoutube

Rahasia Akidah yang Mendasari Tingkah Laku kita

Oleh: Dr. Tgk. H. Amri Fatmi, Lc., MA

“Diri manusia bukan berasal dari alam semata, ia punya asal-usul ruhani yang tidak bersumber dari alam. Sehingga tidak semua yang di alam ini mubah baginya.”

Ada akal, insting serta nafsu pada manusia. Akal berfungsi sebagai penyeimbang terhadap beragam keinginan. Inilah perbedaan antara manusia dan hewan. Hewan mempunyai dorongan untuk bertindak sesuai dengan insting atas dasar kebutuhan asasi dan kemaslahatannya. Berbeda dengan manusia yang bertindak dengan merujuk kepada konsep kebaikan dan keburukan menurut perimbangan akal.

Apabila manusia bertindak sesuai dengan kepentingan, hajat asasi, dan kemaslahatan semata, maka ini sisi hewani dari manusia. Tapi apabila ia bertindak sesuai dengan kemauan dan pertimbangan akal terhadap prinsip-prinsip pemahaman kebaikan dan keburukan dan keyakinan, maka ini sisi khusus kemanusiaan.

Apa yang menjadikan kita menjauh dari api misalkan? Karena ada keyakinan tetap dalam diri kita bahwa api membakar. Apa yang menjadikan kita menjauh dari minuman lezat, yang bercampur racun? Karena ada keyakinan kita akan membunuh. Keyakinan-keyakinan ini menentukan tingkah kita sehari-hari. Prinsip-prinsip dari pemahaman manusia yang mengkristal menjadi keyakinan itulah kemudian disebut akidah. Akidah inilah yang menentukan aksi dan tindakan manusia. Keyakinan semacam ini sisi keistimewaan manusia.

Lebih jelasnya, makna akidah adalah keyakinan yang telah menancap dalam hati kita menguasai perasaan kita sehingga ia mampu menggerakkan jiwa kita kearah suatu tindakan yang baik, jauh dari kepentingan dan kemaslahatan semata. Keyakinan yang tidak berubah dan tidak pula terlepas terhadap sesuatu boleh dikatakan akidah. Tanpa melihat benar salahnya akidah itu. Apabila keyakinan kuat itu terhadap sesuatu yang benar, berbahagialah. namun apabila ternyata sesuatu yang salah dan batil, penyesalan bakal dituai.

Pertanyaannya, apakah manusia dalam bertindak hanya didasari pada kepentingan (kemaslahatan) sementara hidup, hajat ekonomis, biologis atau tindakannya didasarkan pada keyakinan yang mengakar dalam lubuk hati walau nampak jauh dari maslahat sementara dan hajat materi  zahiri?

Dalam sejarah, ditemukan prinsip pengorbanan (pengurbanan) dalam masyarakat manusia  primitive. Sejarawan Barat H.G. Wells dalam Short History of The World menyebutkan Sejak 12 sampai 20 ribu tahun silam, manusia zaman batu ketika mulai zaman panen sengaja mempersembahkan kurban berupa seorang pemuda atau gadis. Uniknya, kurban tersebut bukan manusia biasa, apalagi yang cacat tak layak hidup, tapi sosok yang mereka puja dan terbaik dalam komunitas mereka. Bangsa Aztec di Meksiko terkenal dengan pengurbanan darah dan manusia demi sesuatu keyakinan mitos mereka.

Bahkan ditemukan dalam semua agama dalam sejarah diketemukan prinsip pengorbanan dengan sesuatu yang berharga yang dimiliki manusia demi memuja sesuatu yang tinggi dan agung. Maka menurut Pemikir Muslim Bosnia, Ali Izzat Begovich, prinsip ini bertolak belakang dengan prinsip maslahat, manfaat dan kepentingan yang terdapat pada hewan. Karena maslahat dan kepentingan adalah motif tindakan hewani. Dalam kehidupan manusia, Maslahat, kepentingan dan manfaat adalah dasar prinsip politik, ekonomi adapun pengorbanan prinsip dasar agama dan akhlak. (Islam Baina Syarq wal Gharb : 75)

Bayangkan dengan kacamata maslahat hidup hari-hari, mana lebih besar untungnya, mengurbankan manusia cacat dan tua dengan pemuda dan gadis cantik? Namun Yang mendorong mereka melakukan itu adalah keyakinan kuat terhadap hal yang mulia yang tidak dilakukan oleh hewan. Hewan akan siap membiarkan kawannya yang sakit dan menderita cedera patah kaki demi kembali melanjutkan pencarian mangsa atau hijrah ke hutan seberang. Bila dasar tindakan manusia itu adalah maslahat, maka manusia juga rela melakukan yang hal serupa, namun dengan “kata hati”, manusia tidak akan tega melakukan demikian.

Sejarawan Barat terkenal, H. G. Wells menjelaskan, manusia di awal sejarah ada yang memotong badannya sendiri demi kepercayaan mitos yang diyakini. Semua dilakukan dengan kerelaan semata. Ajaib, ini mengingatkan kita dengan pengorbanan Bilal dan keluarga Ammar serta pahlawan Uhud.  Namun tidak dikenal hal serupa di alam hewani. Paling hewan seperti serigala menggigit kakinya hingga terputus demi lepas dari perangkap, bukan atas dasar kerelaan. Inilah fenomena akidah dan keyakinan terhadap sesuatu yang agung.

Kalau manusia primitive boleh dijadikan pijakan, perbedaan tindakan manusiawi dengan hewani berarti terletak pada kemampuan melakukan tindakan atas dasar keyakinan sesuatu yang agung diluar batas maslahat dan kepentingan sementara. Atau menurut Begovich, Perbedaan mendasar antara manusia dengan hewan ternyata adalah bukan pada sesuatu yang jasadi atau bahkan akal, tetapi di atas itu ada pada sesuatu yang bersifat ruhi atau akhlaki dan seni. (Islam Baina Syarq wal Gharb : 76)

Apa untungnya bagi Cut Nyak Dhien lama berjuang dan menderita tanpa mengenyam kemerdekaan dari Belanda sedikit pun? Namun tetap tidak menyerah pada belanda sampai nafas terakhir! Apa maslahat pribadi syeikh Umar Mukhtar di Libya yang perjuangannya berakhir di tiang gantungan, dibunuh syahid oleh tentara Italia? Kalau cuma maslahat hidup bagi mereka dan kepentingan semata, bekerja sama dengan penjajah jauh lebih menguntungkan diri mereka dari melawan sampai nafas terkhir. Tapi, mereka punya akidah, dan siap berkorban demi akidah itu, dan rumusan ini tidak bisa dijabar dengan angka matematis. Kepahlawanan, sisi unik kemanusiaan yang beritikad.

Al-Quran mengisahkan cerita orang yang hidup dengan agamanya ia akan siap berbuat bukan lagi atas dasar kepentingan dirinya. Begitu yang terjadi dengan kaum Anshar di Madinah yang diceritakan Allah :

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (Al-Hasyr : 9)

Sejak zaman primitive manusia telah mengenal istilah : “larangan”, “najis”, “laknat”, “kesucian” dan “keagungan”. Kalau seandainya kita terlahir untuk sekedar hidup di alam semesta ini, maka tidak ada yang namanya najis dan suci bagi kita. Tidak ada larangan terhadap perbuatan dan perkataan dan laknat. Karena prinsip demikian ini bertentangan dengan kondisi alam yang kita kenal. Kondisi alam berlaku secara maslahat yang semua tindakan, benda, dan segala hal semestinya tidak ada perbedaan untuk dimanfaatkan dan boleh dilakukan demi kelangsungan hidup. Namun kenyataannya bukan demikian, Ini adalah bukti bahwa kita mempunyai asal usul lain.

Diri manusia bukan berasal dari alam semata, ia punya asal-usul ruhani yang tidak bersumber dari alam. Sehingga tidak semua yang dialam ini mubah baginya. Adanya makanan yang haram, minuman yang haram dan perbuatan yang haram, mesti asal-usul pengharaman itu bersumber dari luar manusia. Karena kalau segala hal diukur pada selera dam kehendak manusia, tak satupun di bumi ini berlaku haram atau terlarang. Inilah sisi unik, istimewa manusia berakidah, beriman. Manusia yang memiliki dimensi rahuni bukan dimensi natural saja. Bila ada pengakuan terhadap agama, pengakuan terhadap dimensi ruhani, baru berlaku istilah halal-haram dalam kehidupan manusia. Karena halal-haram hanya ada dalam ajaran para Nabi yang di utus Allah.

Firman Allah :

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ

“Orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf : 157)

Sementara orang yang tidak mengakui agama maka :

 ۗوَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَتَمَتَّعُوْنَ وَيَأْكُلُوْنَ كَمَا تَأْكُلُ الْاَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ….

… dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang…” (Muhammad : 12)

Selanjutnya, pada sisi lain manusia selalu mengekspresikan ketakutan, kekecewaan, bertanya tentang masa depan dalam bentuk seni dan agama. Maka Selalu saja terjadi pertentangan antara kemaslahatan, kepentingan dan kata hati. kenapa? Sisi ini selalu tidak sanggup ditafsirkan secara logis. Apalagi Penafsiran Darwinisme, survive for the fittest,  mentah-mentah tertolak dan membusuk dalam konteks ini.

Dari fakta sejarah dan realita, secara akidah, definisi manusia tidak cukup dengan sekedar “nathiq” (berakal). Filsuf Azhari, Dr. Muhammad Abdullah Dirraz (1949) menyebutkan, kalau dulu sering diartikan manusia sebagai hewan yang berakal, maka definisi manusia yang paling benar adalah hewan yang berkeyakinan terhadap agama.

Sampai Plutarch, sejarawan Yunani silam, menyebutkan : “Ada kota tanpa pagar atau tanpa raja atau tanpa  peradaban atau tanpa stadium, tetapi tidak ada kota tanpa tempat ibadah.” Mungkin inilah penafsiran hidup yang menjelma dalam bentuk ibadah dan keyakinan kuat akan adanya alam lain dan unsur lain dalam diri manusia.

Penyair Russia, Andrei Voznesensky (2010) pernah berujar : “Komputer masa depan secara teori akan mampu melakukan semua pekerjaan manusia, kecuali dua hal ; berkeyakinan agama dan menulis puisi”. Ya, robot nanti akan lebih smart dari manusia, sebagaimana handset smart phone  yang sudah membuktikan ” keterbelakangan” kita kebanyakan pemakainya. Namun mustahil dia memiliki keyakinan akidah yang mendasari geraknya. Apalagi berkorban demi sesuatu.

Manusia ternyata tidak bisa hanya dinilai dari otak yang cerdas. Begitu pula dalam hidup tidak bisa  mengandalkan maslahat atau dasar kepentingan dalam berbuat, dan bertindak. Tetapi keyakinan terhadap sesuatu yang agung atau akidah, ciri utama dasar tindakan mansuiawi. Ini menjadikan entitas manusia berbeda dengan melata lainnya.

.

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujuraat : 15)

Keyakinan terhadap Allah dan ikut petunjukNya bisa mengatur bagaimana mesti kita berbuat dan semulia apakah diri kita manusia ini. Maka akidahmu, perbaiki akidahmu, jagalah akidahmu…Wallahu ‘alam.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
TERBARU

INFO TIMTENG

BERITA POPULAR