Siasat Ala Rasulullah: Inspirasi Bijak untuk Pemilu dan Pilkada di Aceh

pemilu 750x480 2

Tahun ke sepuluh hijriah adalah masa-masa paling sulit dalam fase dakwah Rasulullah Saw. Hal itu salah satunya disebabkan oleh meninggalnya dua orang yang telah menjadi benteng bagi beliau dalam berdakwah selama sepuluh tahun terakhir. Keduanya adalah Khadijah bintu Khuwailid dan Abu Thalib. Istri dan paman beliau.

Meninggalnya dua orang tersebut menjadikan Rasulullah harus menempuh jalan terjal dalam mendakwahkan Islam. Sampai-sampai beliau menamakan tahun tersebut dengan istilah “tahun kesedihan” karena tidak ada lagi yang bersedia untuk mendengarkan dakwah Islam ketika itu.

Gagal di Kota Mekah, Rasulullah kemudian mencoba berdakwah ke Kota Thaif, beliau menyimpan harapan paling tidak akan diizinkan untuk berdakwah, dan itu sudah cukup. Tidak seperti suasana di Kota Mekah sepeninggal Istri dan paman beliau tersebut.

Namun, usaha dakwah Rasulullah di Kota Thaif juga tidak membawa hasil. Beliau diusir secara kasar oleh penduduk di sana bahkan dikejar dengan lemparan batu.

Pada saat itu Rasulullah benar-benar berada pada fase paling rendah dalam usaha dakwahnya.

Meski demikian, berdakwah bagi Rasulullah bukanlah seperti sedang berdagang yang harus dihentikan ketika tidak ada yang membeli. Dakwah bagi beliau Saw. adalah sebuah perintah dan tugas yang itu harus tetap dilaksanakan meski tidak memberikan hasil untuk sementara waktu.

Ibn Sa’d dalam kitab Thabaqatnya meriwayatkan bahwa Nabi Saw. selalu memanfaatkan musim haji untuk mengajak orang-orang yang datang dari luar Mekah agar masuk Islam. Beliau dengan sengaja mendatangi tempat-tempat peristirahatan mereka untuk menyampaikan pesan-pesan Islam.

Dan di sana biasanya selalu ada Abu Lahab yang siap mengacaukan seruan tersebut. Seusai Nabi menyampaikan pesan-pesan tauhid, Abu Lahab dengan cepat menimpali, “jangan sekali-kali kalian mendengar ajakannya, dia adalah penipu yang telah meninggalkan agama kaumnya sendiri.”

Suatu ketika, bertemulah Rasulullah Saw. dengan beberapa orang dari suku Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah. Ibn Ishak meriwayatkan dari Imam Az-Zuhriy, bahwa ketika itu orang-orang dari Bani ‘Amir tersebut hampir menerima ajakan Nabi Saw. Hanya saja mereka akhirnya menarik diri karena Nabi tidak menyetujui tuntutan mereka.

Salah satu dari mereka, bernegosiasi dengan Nabi Saw., “Jika kami bergabung denganmu hari ini, lalu kemudian engkau berhasil, apakah engkau setuju untuk menyerahkan kepemimpinan kepada kami setelah engkau meninggal nanti?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Kepemimpinan ada di tangan Allah, Dia menempatkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Mendengar Jawaban Nabi tersebut, perwakilan Bani ‘Amir mengatakan, “Jika demikian, kami tidak butuh mendengarkan ajaranmu.”

Dari kondisi dakwah Nabi secara umum pada tahun ke sepuluh dan sebelas yang sedang “sakarat”, dan tawaran dukungan dari Bani Amir, serta keengganan Rasulullah memberikan apa yang tidak sesuai dengan prinsip Islam, kita bisa menyimpulkan dua pelajaran penting.

Pertama, bahwa ketika sebuah dukungan untuk suatu kebaikan datang dari sebuah kelompok, belum tentu bahwa mereka memiliki tujuan yang baik. Atau dengan bahasa lain, bergabungnya sebuah kelompok ke dalam sebuah aliansi yang dibangun untuk tugas mulia, belum bisa memastikan niat tulus dari mereka.

Tentu. Kita baru saja melihat Bani ‘Amir, bagaimana mereka setuju untuk mengikuti Nabi, namun menyemai misi yang sangat bertolak belakang dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw.

Yahudi Madinah, sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, juga pernah mengumumkan kesiapan mengikuti Nabi akhir zaman tersebut, jika dia telah muncul nanti.

Tapi di balik dukungan yang secara kasat mata terlihat mulia tersebut, mereka menanam misi yang cukup busuk. Bersama dengan Nabi yang diutus tersebut mereka ingin membentuk kekuatan militer yang begitu kuat untuk membasmi musuh-musuh mereka.

Ini bukti sejarah lainnya, bahwa tidaklah di setiap dukungan kepada kebaikan ada niat yang baik pula.

Pelajaran kedua, bahwa seseorang yang membawa misi luhur, tidak diizinkan untuk menerima sembarang dukungan. Dia harus memastikan bahwa pendukungnya memiliki semangat yang sama dengan apa yang sedang diperjuangkan.

Lihatlah Nabi begitu tegas menolak permintaan Bani ‘Amir untuk menyerahkan kepemimpinan seusai wafatnya kepada mereka. Meski padahal usaha Nabi Saw. ketika itu sedang berada di musim paceklik.

Penolakan Nabi tersebut mengarah kepada keyakinan bahwa sesuatu yang baik,  harus baik pulalah setiap komponen yang membentuknya. Karena kita tidak diizinkan untuk membangun Masjid dari kayu hasil curian.

Perjuangan Suci vs Koalisi Setan

Apa yang kita sampaikan di atas adalah dalam kontek ketika kita berbicara tentang sebuah perjuangan suci dengan maksud yang mulia.

Berbeda jika sejak awal, tujuannya memang sudah tidak baik.

Perjuangan semacam ini kita telah diperlihatkan contohnya oleh sejarah kepada kita, ketika tokoh Yahudi Bani Nadhir, Huyayy bin Ahthab, membangun koalisi “setan” untuk membumihanguskan Madinah beserta dengan umat Islam dalam Perang Khandaq. Huyayy bin Ahthab menggunakan semua cara demi menyukseskan misi “genosida” tersebut.

Kafir Quraisyh di Mekah diajak dengan membangkitkan rasa kebencian sejumlah kekalahan perang mereka di hadapan Muhammad dan para sahabatnya. Yahudi dari Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang baru kemarin diusir oleh Rasulullah dari Madinah karena berkhianat, dengan sangat mudah diprovokasi olehnya. Dia juga mengajak satu suku Yahudi terakhir yang masih tinggal di Madinah ketika itu, yaitu Bani Quraidhah untuk memutuskan perjanjian damai dengan Rasulullah. Padahal Nabi telah merawat dengan sangat baik hubungan dengan mereka.

Tidak hanya sampai di situ, Hayyu Bin Ahthab juga relah merekrut pembunuh bayaran dari Bani Ghathafan. Mereka dibayar dengan setahun hasil kurma perkebunan Khaibar.

Di sini Huyayy dan pemuka Yahudi lainnya ketika itu, tidak perlu mengadakan seleksi bertahap, untuk memastikan bahwa pendukungnya tidak membawa tujuan yang tidak baik. Karena misi awal memang sudah tidak demikian.

Tapi, tentu kita tidak sedang berbicara tentang perjuangan seperti ini. Yang kita bicarakan adalah perjuangan yang sedang diusahakan oleh saudara-saudara kita di luar sana, yang katanya adalah untuk sebuah kebaikan.

Siasat Ala Rasulullah

Menjelang pemilu, kita akan banyak melihat usaha sejumlah pihak  untuk mencari dukungan. Setiap dari mereka berusaha meyakinkan pemilih agar menjatuhkan pilihan kepada dirinya.

Namun di sini ada catatan yang ingin kita titipkan kepada mereka yang sedang memperjuangkan niat-niat baik tersebut.

Bahwa jika benar tujuan yang ingin dicapai itu adalah sebuah kemulian dan cita-cita luhur, maka dukungan yang datang haruslah melewati fase ferifikasi yang ketat terlebih dahulu. Pastikan pihak-pihak yang memberikan dukungan tidak memiliki peta sendiri yang berlawanan dengan arah tujuan perjuangan.

Di dunia perpolitikan dan pemerintahan, kita sering temukan orang-orang baik yang tersandera oleh pendukungnya sendiri, yang telah terlampau menuliskan perjanjian hitam di atas putih. Akibatnya kita akan melihat wajah pemerintahan yang begitu-begitu saja, padahal tonggak pemerintahan barangkali sudah berada di tangan orang yang tepat.

Oleh karena itu, lebih baik mengambil sikap seperti Nabi Saw. yang menolak tawaran dukungan besar dari suku Bani ‘Amir, serta merasa cukup dengan dukungan beberapa orang dari Aus dan Khadzraj setelahnya.

Meski awalnya hanya berjumlah sekitar tujuh orang, ketika Nabi bertemu mereka di ‘Aqabah, namun jumlah sedikit itulah yang telah membuat Nabi mampu mendirikan Daulah Islamiah Pertama di Madinah, dan bertahan selama seribuan tahun.

Semoga.

Penulis : Husni Nazir, Lc., MA. (Ketua Madhyafah IKAT-Aceh)

Editor : Diffa Cahyani Siraj