Oleh: Annas Muttaqin
Pagi itu, udara Kairo terasa lebih berat dari biasanya. Di antara menara-menara yang berdiri gagah di kawasan Al-Azhar, kabar duka berembus perlahan Syekh Ahmad Umar Hasyim telah berpulang. Seorang ulama besar, seorang guru yang menjadi saksi bagi beribu wajah mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menimba ilmu, menutup matanya dalam tenang.
Bagi banyak orang, nama beliau bukan sekadar deretan huruf pada lembar akademik, tapi cahaya yang menuntun di antara keremangan zaman. Syekh Ahmad Umar Hasyim lahir di desa Banha, Provinsi Qalyubiyah, Mesir, pada tahun 1941. Di usia yang masih belia, ia sudah akrab dengan lembaran kitab dan bacaan Al-Qur’an. Ibunya sering berkata, “Anakku ini tidak akan menjadi orang biasa.” Kalimat itu bukan kebanggaan, tapi semacam doa yang menuntun hidupnya.
Dari Banha, beliau menapaki jalan panjang menuju Universitas Al-Azhar, tempat yang kelak menjadi panggung kehidupannya. Tahun-tahun di Al-Azhar mengajarkannya bahwa ilmu bukan hanya soal hafalan, tapi tentang adab, tentang bagaimana seseorang menjaga cahaya ilmu agar tetap menerangi, bukan menyilaukan. Di sinilah ia tumbuh, menjadi pengajar, lalu guru besar di Fakultas Ushuluddin, hingga akhirnya menjabat sebagai Rektor Universitas Al-Azhar Asy-Syarif

Namun, di balik kebesarannya, Syekh Ahmad Umar Hasyim dikenal dengan kerendahan hati yang jarang dimiliki oleh ulama di levelnya. Murid-muridnya bercerita, setiap kali beliau memasuki ruang kuliah, langkahnya pelan, senyumnya sederhana, dan suaranya selalu lembut—seolah sedang menenangkan badai di hati para penuntut ilmu. Ia tak pernah berbicara untuk menunjukkan siapa dirinya, tapi selalu untuk mengingatkan siapa kita di hadapan Allah.
Salah satu kisah yang masih sering disebut murid-muridnya terjadi pada suatu sore di Al-Azhar. Seorang mahasiswa miskin dari Asia datang ke rumah beliau untuk meminta bantuan biaya. Syekh tidak langsung memberi uang, tapi mengajaknya makan malam terlebih dahulu. Setelah makan, beliau baru berkata,
“Anakku, jangan malu meminta jika kau meminta untuk ilmu.”Lalu beliau memberikan uangnya sambil tersenyum, “Ini bukan sedekah, ini amanah agar ilmu itu terus hidup.” Kisah itu menyebar, bukan karena jumlah uang yang diberi, tapi karena cara beliau memanusiakan setiap orang.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Syekh Ahmad Umar Hasyim dikenal juga sebagai pembela hadis. Ia menulis ratusan buku tentang hadis Nabi dan keutamaan ilmu. Di antara karya terkenalnya adalah “As-Sunnah An-Nabawiyyah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ al-Islami”, karya yang membuat banyak mahasiswa Al-Azhar memahami bahwa sunnah bukan sekadar pelengkap hukum, tapi nafas peradaban Islam itu sendiri.
Bagi para pencinta ilmu, kepergian beliau beberapa hari lalu bukan sekadar kehilangan seorang ulama, melainkan kehilangan jiwa yang menjaga keseimbangan antara ilmu dan kasih sayang. Saat kabar wafatnya tersebar di media Mesir, banyak yang menuliskan kalimat yang sama: “Wafat al-‘alim alladzi lam yata’azzam, wa lam yatakabbir.” Telah wafat seorang alim yang tak pernah membesarkan diri dan tak pernah merasa lebih tinggi dari siapa pun.

Kini, di antara suara azan yang menggema dari menara Al-Azhar, nama Syekh Ahmad Umar Hasyim tetap hidup. Di setiap kelas yang masih mengajarkan hadis, di setiap mahasiswa yang mengutip tulisannya, di setiap hati yang tersentuh kelembutan ilmunya.
Mungkin begitulah cara Allah memuliakan hamba-Nya: bukan dengan panjangnya gelar, tapi dengan keberkahan jejak yang ditinggalkan.
Dan di pagi yang tenang itu, saat jenazah beliau dibawa menuju tempat peristirahatan terakhirnya, banyak yang berbisik lirih,
“Ilmu itu tak pergi, hanya berpindah dari bumi ke langit.”
Editor: Diffa Cahyani Siraj