Oleh: Fathurrahman
Rintik hujan baru saja berhenti ketika rombongan Tim Edukasi Timur Tengah Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh kembali melanjutkan perjalanan. Mobil yang membawa para ustaz perlahan melaju di jalan berlumpur di tengah rimbunnya hutan Aceh Barat. Kabut menggantung di lereng perbukitan, menghadirkan kesunyian yang hanya dipecah oleh deru mesin dan suara tawa.
Di tengah perjalanan panjang itu, suasana di dalam mobil justru hangat. Ustaz Syafruddin dan Ustaz Fadhil silih berganti melempar candaan, seolah menolak rasa lelah yang mulai merayap.
“Kalau bukan karena canda, mungkin kami sudah lupa rasanya bahagia di tengah sinyal yang hilang,” gurau Ustaz Fadhil, disambut tawa kecil seluruh anggota tim.
Namun perjalanan ini bukan sekadar rutinitas tahunan. Sejak pertengahan Oktober 2025, Tim Edukasi IKAT Aceh menempuh jalur panjang dari Banda Aceh menuju Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Bener Meriah, Takengon, hingga Gayo Lues.
Misi mereka jelas — menyebarkan informasi dan menyalakan semangat menuntut ilmu ke Timur Tengah bagi santri dan siswa Aceh di berbagai pelosok negeri.
“Agenda ini bertujuan menyalurkan informasi sekaligus memotivasi putra-putri Aceh agar melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah,” jelas Tgk. Khalid Muddatstsir, Lc., M.Ag., Ketua IKAT Aceh.
“Kami berharap ke depan, siswa dan santri yang belajar ke Timur Tengah tidak hanya berasal dari daerah tertentu, tetapi merata di seluruh Aceh.”

Dalam setiap kunjungan, Tgk. Khalid menjelaskan peran IKAT Aceh sebagai lembaga resmi di bawah Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar yang memfasilitasi keberangkatan pelajar Aceh ke Timur Tengah.
“Tidak semua dayah bisa kami jangkau kali ini,” ujarnya, “namun kami berupaya menjangkau minimal dua pesantren di setiap daerah agar informasi pendidikan ke Timur Tengah tersampaikan dengan baik.”
Ia menambahkan, IKAT Aceh siap membimbing siswa-siswi Aceh yang ingin menimba ilmu di berbagai negara Timur Tengah.
“Kami memfasilitasi keberangkatan ke Mesir, Maroko, Tunisia, Arab Saudi, bahkan Yaman. Hanya saja, jalur ke Al-Azhar Mesir saat ini memang paling terbuka dan mudah diakses,” tegasnya.
Menembus Gunung dan Kabut
Dari Nagan Raya, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Beutong Ateuh, menembus jalan berliku di perbukitan Gunung Singgah Mata. Kabut tebal tiba-tiba menyelimuti perjalanan, memaksa mereka berhenti sejenak karena jarak pandang hanya beberapa meter.
Mereka turun dari mobil, menghirup udara lembap pegunungan sambil melepas lelah di tengah senyapnya hutan yang basah.
Setelah beberapa lama, kabut perlahan menipis. Rombongan pun kembali melaju hingga tiba di Bener Meriah, disambut hangat oleh Ustaz M. Din, Pimpinan Pesantren Zahratul Azhar di Getol.
Malam itu mereka bermalam di sana, menikmati kehangatan kopi dataran tinggi di tengah udara dingin yang menusuk tulang.

Dua hari berikutnya, rombongan singgah di Takengon — kota indah yang dikelilingi bukit dan danau berkilau di antara kabut pagi. Setelah dua hari menikmati keindahan dataran tinggi, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju Gayo Lues, melewati jalur berat Gunung Leuser yang kembali diselimuti kabut tebal.
Namun semangat untuk menyebarkan ilmu tak pernah padam.
“Semangat ini yang membuat kami lupa lelah,” ujar Ustaz Mirzan Marwazi, ustaz berperawakan humoris yang juga ikut dalam rombongan.
“Kami ingin semua anak Aceh tahu bahwa jalan menuju ilmu terbuka untuk siapa pun yang mau berjuang.”
Malam harinya, rombongan tiba di Gayo Lues dan disambut hangat oleh Buya Riza Khadafi, Lc., Ketua IKAT Gayo Lues sekaligus Pimpinan Pesantren Askaril Ikhlas.
Di pesantren itu, mereka kembali menggelar sosialisasi dan berbagi pengalaman tentang dunia pendidikan di Timur Tengah.
Setelah melepas penat di Gayo Lues, perjalanan berlanjut ke Kuta Cane, Aceh Tenggara, untuk mengadakan sosialisasi di salah satu dayah di daerah tersebut.
Dari sana, rombongan bergerak menuju Aceh Tamiang melalui jalur Sumatera Utara, menempuh lintasan berat lintas barat–tengah Aceh.
Di Aceh Tamiang, mereka disambut hangat oleh Pimpinan Pesantren Al Fuad di Seruai — titik akhir dari perjalanan delapan hari penuh perjuangan.
Adapun lintas timur akan menjadi agenda tahap kedua yang direncanakan terlaksana pada penghujung tahun.
Cahaya dari Negeri Ulama
Selama perjalanan, Ustaz Haikal Baharuddin turut memberikan penjelasan mendalam tentang proses keberangkatan ke Timur Tengah — mulai dari tahap testing, pemberkasan, hingga peluang beasiswa yang bisa dijangkau.
Sementara itu, Ust. Chalil Bishri, anggota termuda dalam tim, berbagi kisah tentang sistem kuliah dan kehidupan mahasiswa di negeri para ulama itu.
“Kami ingin para siswa punya bayangan nyata tentang bagaimana belajar di sana, agar mereka bisa mempersiapkan diri lebih matang,” ujarnya.

Di sisi lain, M. Zuhri Sulaiman, Lc., Ketua Tim Edukasi Timur Tengah IKAT Aceh, menegaskan pentingnya sosialisasi tatap muka.
“Berinteraksi langsung membuat pesan lebih hidup dan mudah dipahami. Kami ingin mereka melihat wajah para alumni yang dulu juga berawal dari pesantren seperti mereka,” katanya.

Setiap kunjungan Tim IKAT Aceh disambut penuh hangat oleh para pimpinan dayah. Banyak yang mengaku gembira karena selama ini informasi tentang pendidikan ke Timur Tengah masih sangat terbatas.
“Banyak santri kami yang punya minat tinggi, tapi belum tahu jalur resminya. Jadi program ini sangat kami apresiasi,” ujar salah satu pimpinan dayah di Nagan Raya.
Perjalanan Nurani
Bagi Tim Edukasi IKAT Aceh, perjalanan menembus hutan, lembah, dan kabut bukan hanya perjalanan fisik —
melainkan perjalanan nurani. Perjalanan untuk menyalakan cahaya ilmu di pelosok negeri.

Dari setiap pesantren yang mereka datangi, tumbuh harapan baru:
bahwa suatu hari nanti, dari lembah-lembah Aceh akan lahir generasi ulama yang membawa cahaya dari Timur Tengah untuk Indonesia.
Editor: Annas Muttaqin


